(catatan ini saya dapat dari seorang teman....selamat membaca...dan semoga bermanfaat)
"ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya..."
Enda menyanyikan reffrain lagu Letto yang berjudul “Sebelum Cahaya” dalam hati. Ia sudah menjadikannya semacam tradisi. Baginya, penggalan reffrain lagu itu mempunyai makna khusus. Untuknya, bait lagu itu selalu saja menjelmakan mesin waktu, yang akan membawanya kepada suatu masa dimana segala sesuatu tampak begitu sederhana di matanya.
***
Peristiwa itu terjadi pada hari Senin dini hari.
Tapi pahamkah Enda yang saat itu masih seorang balita? Karena baginya, waktu adalah sesuatu yang aneh. Jika ia mendengar nama Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu, yang muncul di benaknya adalah wajah orang-orang yang dikenalnya.
Aku membaca apa saja, sejak aksara-aksara yang ditata itu terasa berbunyi di kepalaku saat mataku menitinya satu-satu. Tapi kalenderlah yang paling mengguratkan kesan dalam kepadaku. Sejak saat itu, aku baru paham kalau deretan nama-nama yang dimulai dari Minggu sampai Sabtu adalah sebutan untuk nama-nama hari dalam seminggu. Dan tak cuma nama, hari-hari pun ditandai dengan angka-angka.
Enda kecil pun perlahan belajar tentang waktu. Kata-kata kemarin, sekarang, besok, sedikit demi sedikit ia mulai paham. “Sekarang hari apa?”, adalah kalimat tanya yang selalu terucap tiap pagi, sekedar untuk mengetahui hari. Itu ia ucapkan kepada siapa saja. Kepada Ibu, Bapak, Nenek, Kakek, maupun kepada Paman dan Bibi. Tak lupa, Enda kecil pun segera bergegas menuju kalender yang tergantung di dinding ruang keluarga. Sejak saat itu, nama-nama dan angka-angka yang tercantum di situ seakan-akan berbicara langsung kepadanya!
Karena selalu bertanya tentang hari kepada siapa saja, lalu dengan penuh semangat membaca kalender sambil berdiri di atas bangku, aku mulai sadar akan adanya peristiwa yang berulang-ulang. TK Harmoni selalu libur pada hari Minggu. Dan setiap Senin, aku memakai seragam TK yang hijau kuning. Hari Sabtu adalah yang paling kutunggu. Karena di hari itu, semua murid akan diajak berjalan-jalan oleh bu guru mengunjungi satu tempat di kota. Namun yang paling kusuka dari itu semua adalah hari Jumat sore. Pada saat itulah, dengan penuh suka cita, aku akan menyambut kedatangan Ibuku!
***
Lantas, apa yang terjadi pada Senin dini hari?
Kalender seperti menjadi candu bagiku. Huruf-huruf dan angka-angka yang tercetak di situ menjadi obsesiku. Pada bangku yang kugunakan untuk berdiri, membekas jelas tapak kecil kakiku. Hari Jumat dan angka-angka pada kalender yang dicetak berwarna merah adalah yang pertama kali akan aku perhatikan. Karena pada hari itulah, kehadiran Ibuku demikian mewarnai hariku. Semacam rasa frustrasi kecil melandaku, apabila jari-jari pada tangan kananku habis tanpa sisa untuk menghitung hari-hari yang mesti kulalui sebelum hari Jumat itu tiba.
Disamping frustrasi, aku pun belajar mengembangkan perasaan cemas dan takut. Selain Jumat, ada satu hari yang tak bisa luput dari perhatianku.
Sesuatu terasa menekan perutku apabila hari-hari sedemikian terasa menggiringku mendekati hari itu. Saat yang paling menyiksa adalah saat menjelang kedatangannya. Aku bahkan amat takut memejamkan mata dan jatuh tertidur, karena jika sampai aku tertidur di hari yang menegangkan itu, sesuatu yang paling berharga bagiku terrenggut dari sisiku.
Hari itu adalah Senin. Dini hari tepatnya. Karena pada saat itulah, Ibuku akan selalu pergi meninggalkanku!
***
Aku ingin Ibuku yang pertama kali tahu.
Aku masih ingat harinya Rabu, saat aku berhasil memanjat pohon mangga yang berdiri di samping TK Harmoni, tempat sekolahku. Aku masih ingat mimik ketakutan dan perasaan cemas bu guru Erliya, yang memintaku untuk turun dari pohon itu. Seandainya saja bukan bu guru Erliya, melainkan Ibuku, tentu perasaan bangga dan bahagia akan memenuhi hatiku. Atau pada saat hatiku berdebar-debar karena namaku disebut sebagai juara pada lomba mewarna, aku membayangkan Ibuku yang tersenyum kepadaku di bawah panggung sana.
Aku ingin ibuku yang pertama kali tahu, saat aku menangis karena berkelahi dengan Malik temanku, yang merebut mainan dari tanganku. Atau pada saat aku benar-benar malu, saat si Ofi mengolok-olok sepatuku. Atau pada Nia, saat aku benar-benar iri kepadanya, karena mama Nia selalu setia mengantarnya saat sekolah.
Roda besi kereta yang beradu dengan sambungan rel memunculkan tabuhan perkusi yang amat manis. Di ufuk timur, langit berpendar dengan spektrum warna jingga. Enda tersenyum melihat matahari yang menyembul terbit. Karena dengan jelas ia dapat melihat wajah Ibunya disana.
***
Setelah meeting yang kupimpin selesai, aku langsung menyambar handphone yang sedari tadi aku biarkan berdering dalam modus senyap. Ada SMS masuk rupanya.
“Enda, bisa sempatkan pulang? Ibu masuk rumah sakit Nak. Tiba-tiba saja beliau pingsan saat selesai sholat ashar. Sampai sekarang beliau masih juga belum sadar.”
Membaca SMS dari Bapak, aku bergegas mencari kendaraan yang bisa membawaku kembali pulang. Rupanya tinggal kereta apilah, yang bisa membawaku sesegera mungkin ke sana. Flight terakhir pesawat terbang yang menuju ke kotaku telah berangkat tiga puluh menit yang lalu.
Masa remaja adalah titik nadir hubunganku dengan Ibuku. Dunia terasa begitu luas dan aku merasa sanggup mengarunginya sendirian. Sebagai seorang anak dengan beragam prestasi yang mengagumkan, entah kenapa Ibu tampak begitu kecil di mataku. Aku bisa saja secara objektif menilai kebaikan atau kelebihan yang dimiliki oleh Ibuku. Tapi entah kenapa, kelemahan atau sisi buruk yang dimiliki Ibu selalu saja mendominasi penilaianku atas beliau. Sehingga andai sebesar gajahpun kebaikan yang dimiliki oleh Ibu, tetap saja ia tak tampak, meski dengan kedua kelopak mataku ia begitu dekat.
Kereta terus melaju ke arah timur. Sinar matahari terbit perlahan mulai menghangatkan badan kereta api yang hampir semuanya terbuat dari logam itu.
Ibu yang tampak kecil dan hampir selalu salah dalam pandanganku. Ah, apakah itu justru manifestasi dari betapa merindunya aku kepada beliau? Bukankah waktu kecil dulu, hari Senin sampai Jumat adalah hari-hari penantian yang terasa amat panjang? Dan di setiap Senin, Ibu harus berangkat dini hari menuju kota tempat beliau bekerja. Sesuatu yang selalu membuat mataku sembab oleh air mata, menangisi kepergiannya.
Studi yang kutempuh sampai jauh ke negeri seberang seperti mampu mengurai simpul-simpul lama. Betapa jarak mampu sedemikian mengusik dan memaksamu untuk melakukan sederetan kontemplasi. Saat engkau merasa dipisahkan, saat itulah engkau akan merasa betapa berharga semua yang pernah engkau dapatkan. Apakah benar begitu?
“Nak, Ibu akan selalu menangisi kepergianmu.”, itulah kalimat Ibu saat melepas kepergianku. Mata Ibu menitikkan kristal bening. Dan saat mataku dengan mata Ibu beradu, tampak bayangan diriku. Aku, yang selalu menangis setiap Senin pagi, tergambar jelas di situ!
Disitulah, saat Ibu dan Aku berjarak sedemikian jauh, aku merasakan semacam matahari kecil yang hangat terbit dalam hatiku. Matahari kecil yang perlahan mengusir gelap malam. Kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan Ibu kepadaku, itulah matahari kecil itu!
***
Di luar jendela kereta, matahari telah terbit sempurna. Terasa benar hangatnya, meski hanya dengan memandangnya. Namun hembusan AC di kereta terasa dingin menusuk kulit. Sensasi hangat sekaligus dingin yang muncul itu, terasa aneh dan unik.
Untuk mencapai rumah sakit, butuh waktu sekitar lima belas menit perjalanan dari stasiun kereta. Setelah cukup melepas rindu, Bapak memintaku menemani Ibu. Beliau izin sebentar untuk shalat dhuha di masjid yang ada di kompleks rumah sakit.
Wajah Ibu tampak damai dalam tidurnya. Melihat wajahnya yang bercahaya, aku lantas ingat dengan sensasi hangat sekaligus dingin yang barusan kurasakan, saat menatap matahari terbit di dalam kereta.
Saat itulah tiba-tiba Ibu terbangun.
“Enda, kapan engkau datang, Nak?”
Betapa bahagianya aku. Tiba-tiba hari itu serasa hari Jumat petang, dan aku begitu bersuka cita menyambut Ibu yang telah datang.
"ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra yang kan membelaimu, cinta!"
Reffrain lagu itu terasa dinyanyikan lagi di kepalaku.
Ibu, aku memaafkanmu. Aku sadar betapa engkau teramat mencintaiku. Itulah sebabnya di setiap senin dinihari, engkau selalu menitipkan cintamu kepada embun yang akan menemaniku, dan angin yang berhembus membelaiku.
“Ibu, maafkan aku!”
Aku tak kuasa menahan haru...
"ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja yang menemanimu sebelum cahaya..."
Enda menyanyikan reffrain lagu Letto yang berjudul “Sebelum Cahaya” dalam hati. Ia sudah menjadikannya semacam tradisi. Baginya, penggalan reffrain lagu itu mempunyai makna khusus. Untuknya, bait lagu itu selalu saja menjelmakan mesin waktu, yang akan membawanya kepada suatu masa dimana segala sesuatu tampak begitu sederhana di matanya.
***
Peristiwa itu terjadi pada hari Senin dini hari.
Tapi pahamkah Enda yang saat itu masih seorang balita? Karena baginya, waktu adalah sesuatu yang aneh. Jika ia mendengar nama Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu, yang muncul di benaknya adalah wajah orang-orang yang dikenalnya.
Aku membaca apa saja, sejak aksara-aksara yang ditata itu terasa berbunyi di kepalaku saat mataku menitinya satu-satu. Tapi kalenderlah yang paling mengguratkan kesan dalam kepadaku. Sejak saat itu, aku baru paham kalau deretan nama-nama yang dimulai dari Minggu sampai Sabtu adalah sebutan untuk nama-nama hari dalam seminggu. Dan tak cuma nama, hari-hari pun ditandai dengan angka-angka.
Enda kecil pun perlahan belajar tentang waktu. Kata-kata kemarin, sekarang, besok, sedikit demi sedikit ia mulai paham. “Sekarang hari apa?”, adalah kalimat tanya yang selalu terucap tiap pagi, sekedar untuk mengetahui hari. Itu ia ucapkan kepada siapa saja. Kepada Ibu, Bapak, Nenek, Kakek, maupun kepada Paman dan Bibi. Tak lupa, Enda kecil pun segera bergegas menuju kalender yang tergantung di dinding ruang keluarga. Sejak saat itu, nama-nama dan angka-angka yang tercantum di situ seakan-akan berbicara langsung kepadanya!
Karena selalu bertanya tentang hari kepada siapa saja, lalu dengan penuh semangat membaca kalender sambil berdiri di atas bangku, aku mulai sadar akan adanya peristiwa yang berulang-ulang. TK Harmoni selalu libur pada hari Minggu. Dan setiap Senin, aku memakai seragam TK yang hijau kuning. Hari Sabtu adalah yang paling kutunggu. Karena di hari itu, semua murid akan diajak berjalan-jalan oleh bu guru mengunjungi satu tempat di kota. Namun yang paling kusuka dari itu semua adalah hari Jumat sore. Pada saat itulah, dengan penuh suka cita, aku akan menyambut kedatangan Ibuku!
***
Lantas, apa yang terjadi pada Senin dini hari?
Kalender seperti menjadi candu bagiku. Huruf-huruf dan angka-angka yang tercetak di situ menjadi obsesiku. Pada bangku yang kugunakan untuk berdiri, membekas jelas tapak kecil kakiku. Hari Jumat dan angka-angka pada kalender yang dicetak berwarna merah adalah yang pertama kali akan aku perhatikan. Karena pada hari itulah, kehadiran Ibuku demikian mewarnai hariku. Semacam rasa frustrasi kecil melandaku, apabila jari-jari pada tangan kananku habis tanpa sisa untuk menghitung hari-hari yang mesti kulalui sebelum hari Jumat itu tiba.
Disamping frustrasi, aku pun belajar mengembangkan perasaan cemas dan takut. Selain Jumat, ada satu hari yang tak bisa luput dari perhatianku.
Sesuatu terasa menekan perutku apabila hari-hari sedemikian terasa menggiringku mendekati hari itu. Saat yang paling menyiksa adalah saat menjelang kedatangannya. Aku bahkan amat takut memejamkan mata dan jatuh tertidur, karena jika sampai aku tertidur di hari yang menegangkan itu, sesuatu yang paling berharga bagiku terrenggut dari sisiku.
Hari itu adalah Senin. Dini hari tepatnya. Karena pada saat itulah, Ibuku akan selalu pergi meninggalkanku!
***
Aku ingin Ibuku yang pertama kali tahu.
Aku masih ingat harinya Rabu, saat aku berhasil memanjat pohon mangga yang berdiri di samping TK Harmoni, tempat sekolahku. Aku masih ingat mimik ketakutan dan perasaan cemas bu guru Erliya, yang memintaku untuk turun dari pohon itu. Seandainya saja bukan bu guru Erliya, melainkan Ibuku, tentu perasaan bangga dan bahagia akan memenuhi hatiku. Atau pada saat hatiku berdebar-debar karena namaku disebut sebagai juara pada lomba mewarna, aku membayangkan Ibuku yang tersenyum kepadaku di bawah panggung sana.
Aku ingin ibuku yang pertama kali tahu, saat aku menangis karena berkelahi dengan Malik temanku, yang merebut mainan dari tanganku. Atau pada saat aku benar-benar malu, saat si Ofi mengolok-olok sepatuku. Atau pada Nia, saat aku benar-benar iri kepadanya, karena mama Nia selalu setia mengantarnya saat sekolah.
Roda besi kereta yang beradu dengan sambungan rel memunculkan tabuhan perkusi yang amat manis. Di ufuk timur, langit berpendar dengan spektrum warna jingga. Enda tersenyum melihat matahari yang menyembul terbit. Karena dengan jelas ia dapat melihat wajah Ibunya disana.
***
Setelah meeting yang kupimpin selesai, aku langsung menyambar handphone yang sedari tadi aku biarkan berdering dalam modus senyap. Ada SMS masuk rupanya.
“Enda, bisa sempatkan pulang? Ibu masuk rumah sakit Nak. Tiba-tiba saja beliau pingsan saat selesai sholat ashar. Sampai sekarang beliau masih juga belum sadar.”
Membaca SMS dari Bapak, aku bergegas mencari kendaraan yang bisa membawaku kembali pulang. Rupanya tinggal kereta apilah, yang bisa membawaku sesegera mungkin ke sana. Flight terakhir pesawat terbang yang menuju ke kotaku telah berangkat tiga puluh menit yang lalu.
Masa remaja adalah titik nadir hubunganku dengan Ibuku. Dunia terasa begitu luas dan aku merasa sanggup mengarunginya sendirian. Sebagai seorang anak dengan beragam prestasi yang mengagumkan, entah kenapa Ibu tampak begitu kecil di mataku. Aku bisa saja secara objektif menilai kebaikan atau kelebihan yang dimiliki oleh Ibuku. Tapi entah kenapa, kelemahan atau sisi buruk yang dimiliki Ibu selalu saja mendominasi penilaianku atas beliau. Sehingga andai sebesar gajahpun kebaikan yang dimiliki oleh Ibu, tetap saja ia tak tampak, meski dengan kedua kelopak mataku ia begitu dekat.
Kereta terus melaju ke arah timur. Sinar matahari terbit perlahan mulai menghangatkan badan kereta api yang hampir semuanya terbuat dari logam itu.
Ibu yang tampak kecil dan hampir selalu salah dalam pandanganku. Ah, apakah itu justru manifestasi dari betapa merindunya aku kepada beliau? Bukankah waktu kecil dulu, hari Senin sampai Jumat adalah hari-hari penantian yang terasa amat panjang? Dan di setiap Senin, Ibu harus berangkat dini hari menuju kota tempat beliau bekerja. Sesuatu yang selalu membuat mataku sembab oleh air mata, menangisi kepergiannya.
Studi yang kutempuh sampai jauh ke negeri seberang seperti mampu mengurai simpul-simpul lama. Betapa jarak mampu sedemikian mengusik dan memaksamu untuk melakukan sederetan kontemplasi. Saat engkau merasa dipisahkan, saat itulah engkau akan merasa betapa berharga semua yang pernah engkau dapatkan. Apakah benar begitu?
“Nak, Ibu akan selalu menangisi kepergianmu.”, itulah kalimat Ibu saat melepas kepergianku. Mata Ibu menitikkan kristal bening. Dan saat mataku dengan mata Ibu beradu, tampak bayangan diriku. Aku, yang selalu menangis setiap Senin pagi, tergambar jelas di situ!
Disitulah, saat Ibu dan Aku berjarak sedemikian jauh, aku merasakan semacam matahari kecil yang hangat terbit dalam hatiku. Matahari kecil yang perlahan mengusir gelap malam. Kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan Ibu kepadaku, itulah matahari kecil itu!
***
Di luar jendela kereta, matahari telah terbit sempurna. Terasa benar hangatnya, meski hanya dengan memandangnya. Namun hembusan AC di kereta terasa dingin menusuk kulit. Sensasi hangat sekaligus dingin yang muncul itu, terasa aneh dan unik.
Untuk mencapai rumah sakit, butuh waktu sekitar lima belas menit perjalanan dari stasiun kereta. Setelah cukup melepas rindu, Bapak memintaku menemani Ibu. Beliau izin sebentar untuk shalat dhuha di masjid yang ada di kompleks rumah sakit.
Wajah Ibu tampak damai dalam tidurnya. Melihat wajahnya yang bercahaya, aku lantas ingat dengan sensasi hangat sekaligus dingin yang barusan kurasakan, saat menatap matahari terbit di dalam kereta.
Saat itulah tiba-tiba Ibu terbangun.
“Enda, kapan engkau datang, Nak?”
Betapa bahagianya aku. Tiba-tiba hari itu serasa hari Jumat petang, dan aku begitu bersuka cita menyambut Ibu yang telah datang.
"ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra yang kan membelaimu, cinta!"
Reffrain lagu itu terasa dinyanyikan lagi di kepalaku.
Ibu, aku memaafkanmu. Aku sadar betapa engkau teramat mencintaiku. Itulah sebabnya di setiap senin dinihari, engkau selalu menitipkan cintamu kepada embun yang akan menemaniku, dan angin yang berhembus membelaiku.
“Ibu, maafkan aku!”
Aku tak kuasa menahan haru...
saya juga suka lagi letto "sebelum cahaya"
ReplyDeletetapi rasanya hanya menyukai syair dan musiknya saja, tidak ada history kenangannya hehe
salam, ^_^